Selasa, 06 Januari 2015

Can you fell your heartbeat?

Selasa, 6 Januari 2015. 22:36


Kulirik sekilas jam di sudut kanan bawah layar laptopku, 21:52. Baru dua BAB slide psikologi anak selesai kubaca, mata kuliah yang akan diujikan esok. Bukan mata yang meminta ini segera diakhiri, namun isi kepala. Semester ini nampaknya memang penuh misteri bagiku. Semangat itu, semangat mencari ilmu yang sejak awal kujanjikan. Entah dimana sekarang ini dia berada. Teringat pertama melangkahkan kaki menuju kesini, niat hati masih lurus sempurna, mencari ilmu!. Namun kembali untuk semester dua? Entahlah, aku tak yakin aku kembali masih dengan niat sempurna itu. Dan kini, dipenghujung semester tiga. Semua berlalu begitu saja, tak peduli. Seolah tak ada yang bisa menanti ketertinggalanku. Ya ya, aku tau akulah yang seharusnya berlari. Namun baiklah, bukan ini yang sebenarnya ingin kubicarakan. Terlepas bahwa inilah yang dalam beberapa bulan terakhir ini mengusik hati.
Beberapa hari lalu. Aku baru memutuskan akan membaca terjemahan Al-Qur’an sebelum membaca tiap ayatnya. Ayat per ayat, indonesia-arab-indonesia-arab, begitu seterusnya. Bukankah kita tidak hanya diperintahkan untuk membaca Al-Qur’an namun juga memahaminya? Orang bilang, “jika kau ingin berbica kepada Allah, berdoalah. Namun jika ingin Allah berbicara kepadamu, bacalah Al-Qur’an!”. Aku ingin katakan, aku belum bisa berbahasa arab, lalu bagaimanalah aku akan mengerti apa yang hendak Allah sampaikan kalau aku hanya membaca arabnya saja? Seperti kalian, aku juga ingin mengerti apa yang sebenarnya Allah telah sampaikan kepadaku.  Hal ini tampaknya cukup menyita perhatianku –dan aku senang-, hingga muncul keinginan mencari buku tafsir beserta asbabun nuzul (penyebab diturunkannnya ayat-ayat Al-Qur’an) Al-Qur’an. Meskipun, sepenuhnya sadar ada tumpukan buku yang menagih janji untuk dibaca setelah berbulan-bulan lalu menyesaki meja kamarku. Dan, dua hari lalu. Saat membaca Al-Anfal ayat 2, sebutir air mata meleleh, bukan karena tidak pernah mendengarnya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada tuhanlah mereka bertawakal.” (Q.S. Al-Anfal : 2)
Seuntai kalimat yang aku yakin kalian juga pernah mendengarnya. Namun mendengarnya, artinya seseorang mengatakannya padaku. Namun  ketika membacanya, aku tak merasa seperti aku mengatakannya kepada diriku sendiri, ada yang mengatakannya padaku, namun aku tak tau itu siapa. (Hiiiiiyy..., kok jadi horor gini? Ahaha..).
Aku mulai berpikir...
Aku mengakuisisi diri sebagai aktivis, agen dakwah katanya.
Lalu,
Apa yang kupikirkan ketika kuteriakkan takbir menggema dalam ruang maupun alam terbuka-Nya?
Apa yang tengah kulakukan ketika takbir bergema dalam ke segala penjuru arah mengingatkan manusia untuk sejenak memberikan waktu kepada Rabbnya?
Apa yang ada dalam kepala ini saat kulirihkan nama-nama mulia-Nya?
Apakah hati ini bergetar ketika kudengar nama-Mu ya Rabb?
Benarkah kau bergetar ketika kulirihkan nama-Nya dengan lidahku?



Hei hati, adakah iman didalam sana?

Sabtu, 01 November 2014

Menjadi Manusia Paling Cerdas...

Sudahkah kita mengingat mati?
Mungkin sebagian besar dari kita sudah sering atau bahkan selalu mengingat mati. Namun sudahkah kita beribadah seolah-olah ini adalah hari terakhir kita? Sudahkah kita beribadah seolah ini adalah ibadah terakhir kita? Kurasa belum. Mungkin kita ingat bagaimana ketika kita sangat kelelahan atau lazimnya kita sebut tepar, bangun disepertiga malam menjadi begitu sulit dilakukan. Sehingga ketika kita membuka mata, hati kecil berbisik, “udah, ngga apa-apa ngga sholat tahajud sekali, besok kan masih bisa.” (ini hati kecil atau setan ya yang berbisik?).  itulah permasalahan yang tengah kita hadapi, terutama Aku. Atau mungkin hanya Aku? Baiklah, anggap saja ini adalah curhatanku.
Saat ini, Aku selalu terlalu yakin akan adanya hari esok. Aku sudah lebih dulu sok tau kalau Aku masih bisa melakukannya esok hari. Aku terlalu yakin bahwa Aku akan tetap hidup hingga esok. Sehingga tak jarang, waktu sholat kuulur sedemikian rupa. Kesempatan tahajud hilang begitu saja. Waktu Dhuha dengan mudahnya kutunda-tunda hingga bahkan hanya azan dhuzur yang menyadarkanku. Tilawah Qur’an selalu berada di nomor urut dua, tiga atau bahkan seterusnya sehingga Aku lupa belum memenuhi target tilawah hari ini atau malah bahkan memulainyapun belum. Dan kemudian, dengan santainya berkata, “besok aja deh, sekalian dua juz, besok kan libur juga.” Nyatanya, besok yang libur itu dipenuhi dengan tugas, tugas dakwah, tugas kuliah, semua mengantri setia menanti gilirannya. Semua serba nanti, nanti atau besok, besok. Semuanya diulur, ditunda. Seandainya kata tunda itu tak pernah ada. Mungkin dia akan benar-benar tidak ada, atau hanya menjadi sebuah kata lain yang bermakna sama. Maka aku selalu berharap untuk tidak berkenalan dengannya. Namun kini, nampaknya sudah terlambat, kami sudah menjadi teman dekat, atau bahkan bersahabat.
               Karena itu, saat masih ada kata tunda, kata nanti, kata besok saja dalam kamus kebaikanku. Aku tak mengerti bagaimana bisa kukatakan aku sudah mengingat mati?
Namun kurasa sekarang aku sudah mengerti. Ini bukan hanya tentang adanya keyakinan yang teramat bahwa esok aku akan tetap hidup. Bukan lagi hanya tentang kesoktauanku tentang adanya hari esok itu. Tapi ini juga karena aku sudah mengingat mati. Karena aku sudah berkenalan dengan siapa itu kematian. Kematian itu sangat dekat, dia pasti akan datang. Pasti. Tapi nanti. Iya, aku memang sudah mengingat mati. Tetapi itu adalah kematian yang indah, kematian di usia tua, saat aku sudah menjadi seorang nenek yang telah merasakan kebahagiaan memiliki cucu-cucu. Kematian yang aku kenal adalah kematian di masa depan yang masih panjang, jauh bertahun lagi. Kematian dimana Aku sudah menggapai mimpi dan merangkai jejak takdir Ilahi. Kematian seperti yang aku inginkan, dan mungkin bukan seperti yang Ia tetapkan. Padahal, kinipun aku tak tau. Apakah masa depan yang seperti aku bayangkan itu benar-benar ada didepan sana? Apakah aku akan benar-benar bertemu dengan masa depan seperti itu? Apakah aku akan sempat mengenalnya walau sejenak? Aku bahkan tak pernah tau.



أَفْضَلُ المُؤْمِنِينَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَ أَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُم لِلمَوتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُم لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ
“Orang mukmin yang paling utama adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang mukmin yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka semua adalah orang-orang cerdas (yang sesungguhnya, pent).” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Irwa’ul Gholiil no.682. Sedangkan di dalam Silsilatu Al-Ahaadiits Ash-Shohihah no.1384 beliau menilai hadits ini derajatnya HASAN dengan semua jalan periwayatannya).
Sehingga, wahai kematian. Meski di hadapanku itu sudah dikatakan dekat. Melangkahlah lebih dekat lagi. Tutupi mataku dengan kedua belah tanganmu. Dengan begitu, setiap kali aku membuka mataku. Kau akan menjadi yang pertama aku lihat, sebagai pintu yang kuncinya ada ditangan kekasih hatiku. Dimana Dia selalu menatapku dari balik pintu itu. Sehingga apapun yang aku lakukan di muka bumi ini tak hanya akan sekadar karena dunia semata. Kau akan selalu mengambil alih alasanku melakukannya. Dan ketika kekasih hatiku akan membuka pintu itu, entah itu beberapa detik atau menit lagi, atau bahkan saat ini. aku selalu siap bertemu dengan-Nya dan mempertanggung jawabkan semua jejak yang pernah aku buat didunia.

Jumat, 31 Oktober 2014

UTS perdana departemen...

Kamis, 30 Oktober 2014
Lagi dan lagi, belajar materi kuliah memang sebaiknya dicicil sedini mungkin, bila perlu setiap hari. Apa salahnya? Toh dalam rangka mencari ilmu kan? yang katanya buat jihad ilmiy gitu. budaya SKS seharusnya sudah jauh-jauh hari tidak diberlakukan lagi. Namun apalah daya, 1001 alasan senantiasa menanti, membatasi diri agar tak perlu terlalu terburu, terlalu serius, atau bagaimanalah menyebutnya. Santaiii, sampai terbuai dan lupa bahwa ujian tinggal hitungan hari lalu jam menit detik dan berlalu dengan penyesalan dalam hati.
Namun lagi dan lagi, aku belajar dalam naungan SKS lagi, bahkan malah SKSS (Sistem Kebut Setelah Subuh). -_-'
Pengamen (Pengantar Manajemen), buku kuning itu, setengah hati aku membacanya. Meski pada akhirnya bisa selesai dalam sehari. 2 BAB pertama malam hari, sisanya –sepertinya tidak bisa disebut sisa- 5 BAB yang lain di pagi hari. Ya, untungnya ujian Pengamen mulai pukul setengah empat sore. Namun, benar saja, terlalu mudah, terlalu mudah kalau hanya dengan dibaca langsung bisa dipahami. Satu persatu kata yang terangkai dalam bait-bait kalimat mulai mengalir keluar entah kemana. Hasilnya, ditanya tentang departementialisasi saja tak tau kalau ada yang seperti itu di dunia ini. Selamat dari yang satu ini, mata kuliah lain yang tak kalah krusial menanti.
Psinak (Psikologi Anak), Slidenya saja tebalnya bewh kali, isinya? teori-teori dan teori lagi. Tak hanya harus diingat, namun juga wajib dipahami. Baca 4 BAB sudah minta undur diri, 4 Babnya lagi? Niatnya sih dilanjutkan dini hari. Namun bagaimanalah, mata terbuka tepat pukul 5 pagi. Yah, mau bagaimana lagi. Dibaca seadanya, sebisanya. Hasilnya, Teori pembelajaran sosial terbalik sama teori Behaviorisme-nya Skinner. Aduuuuhh, maafkanlah aku pak Bandura, pak Skinner. Lupa aku kalian pernah ngomong apa aja. Tapi yasudahlah..
Ekokel (Pengantar Ekologi Keluarga), bahannya sih dikit, dikit bener. Intinya, hubungan timbal balik keluarga dengan lingkungannya. Namun, apakah kemudian menjadi sesederhana intinya? Tidaaaaak! Abstraknya ilmu ini menusuk hingga ke hati, liat penjelasan slide dalam bahasa inggris, buka catetan juga bahasa inggris. Ya Allah, mikir apa kamu Yu waktu kuliah ini?. Waktu ujian, soalnya lagi-lagi menohok hati. Jangan tanya tentang jawaban, lah sama soal aja aku salah paham. T_T
2 Ujian terakhir, lihat materi masih menumpuk kesana-kemari. Ingin rasanya tak peduli, tapi untungnya akal sehat masih mau menasehati. Jenuh sebenernya, makanya muncul tulisan ini.



Cek WA ada yang lagi nyemangatin supaya ngga ngeluh, duuhh jadi inget janji.
Lelah menggelayuti setiap sendi tubuh,
namun ku tlah berjanji tuk takkan lagi mengeluh,
berada di rantauan nun jauh,
dengan hanya sahabat dan teman tempat berjenuh,
menjadikan semangat untukku terus bersungguh,
agar bisa kembali dengan ilmu yang penuh.

Oke deh,
“boleh jenuh, asal ngga keterusan sampe jadi ngeluh” ;)

Jumat, 05 September 2014

Memahami aku, sebagai seorang konsumen..

Ayuning Tyas
I24130071
Mahasiswi Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia IPB

Kuliah Perilaku Konsumen IKK233
Rabu, 3 September 2014

Department of Family and Consumer Sciences
College of Human Ecology
Bogor Agricultural University IPB

Dosen : Dr Ir Lilik Noor Yuliani, MFSA
Buku referensi :
Ujang Sumarwan. 2011. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Edisi 2 Cetakan 1. Jakarta: PT Ghalia Indonesia


Kuliah Pertama
Konsumen?
Rabu, 3 September 2014. Peretemuan pertama kami di kelas ibu Lilik Noor Yulianti. Beliau adalah salah satu pengajar dalam mata kuliah Perilaku Konsumen. Meskipun beliau mendeklarasikan bahwa dirinya tak mampu melucu sebagaimana dosen lain, namun seolah menapik deklarasi beliau, ruang kelas beberapa kali dibuat riuh oleh gema tawa mahasiswa-mahasiswinya.
Konsumen? Satu kata dengan tanda tanya menyertainya. Sederhana, biasa, namun ternyata mengandung banyak makna, menarik mahasiswa untuk menggali pengetahuan dari otaknya. Konsumen, orang yang mengambil keputusan akan sebuah transaksi. Seorang pembeli, seorang pelanggan dan lain sebagainya. Sebagai seorang konsumen, ternyata kadangkala kita masih bingung mengungkapkan siapa itu konsumen, bagaimana ia mengambil keputusan akan peilihan yang dihadapkan padanya, bagaimana perilakunya dalam memanfaatkan barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya, padahal menanyakan hal-hal ini adalah sebenarnya kita menanyakannya pada diri kita sendiri.
Hal inilah yang kemudian menjadikan perilaku konsumen perlu untuk kita pelajari. Agar kita mengetahui faktor-faktor atau motivasi seperti apakah yang mempengaruhi sikap kita sebagai seorang konsumen. Bagaimana kemudian kita mengambil sebuah keputusan, bagaimana kita mengonsumsi barang ataupun jasa yang kita dapatkan dan bagaimana kita akhirnya mengevaluasi keputusan yang kita ambil. Namun selain menempatkan diri sebagai seorang konsumen, mata kuliah ini juga penting bagi kita yang ingin merangkap peran sebagai seorang produsen. Agar bisa mengetahui strategi yang tepat untuk memberdayakan para konsumen. Memahami pola perilaku konsumen akan konsumsi mereka dan bagaimana mereka memperlakukan sisa atau bagian yang tidak bisa mereka konsumsi.

Mata kuliah ini tidak hanya mengajak kita untuk menjadi konsumen cerdas namun juga produsen yang memahami pola perilaku konsumennya.

Minggu, 29 Juni 2014

Sepele sih, tapii..

Pinjem sendal itu hal biasa memang. Biasa aja, kalo kedua pihak yang dipinjemin dan yang minjemin sama-sama tau keberadaan barang terkait. Nah kalo salah satunya aja yang tau? Aku bahkan ngga tau kalo ini bisa disebut “minjem”. Kemarin ceritanya sendal aku abis “dipinjem” saudari. Saudari, iya saudari. Secara kitakan satu akidah, meskipun sejatinya aku ‘mungkin’ tau dia, dia ‘mungkin’ tau aku dan kita ‘mungkin’ saling tau. Sekali lagi aku katakan, ini memang hal sepele, urusan sendal doang. Tapiii.... nah? Ada tapinya?
Semasa SMA, aku salah satu siswi yang memilih tinggal diasrama, mungkin sekitar dua setengah tahunan. Selama disana, urusan sendal memang menjadi barang sensitif kalo ditinggal sembarangan. Depan asrama, kantin sekolah pun masjid yang jadi tempat ibadah bukan tempat aman untuk ninggalin sendal, kalo kita sayang atau masih pengen bareng-bareng sama sendal kita untuk waktu yang lama, amankan! Tak sekali-dua sendal didepan asrama, depan kantin atau depan masjid bisa pulang duluan, iya kalo pulangnya ke alamat yang bener lah itu pulangnya ke asrama lain-seringnya sih asrama cowok- dan ditemukan dalam keadaan mengenaskan-beda pasangan-. Ckckck..
Aku dulu juga salah satu yang tak peduli akan masalah sepele ini. Tapi terus aku mulai mikir, apa kita tau.. mungkin saja diluar sana, ada seseorang yang bertelanjang kaki-berkaus kaki bagi yang akhwat- menapaki jalanan berduri karena alas kakinya bertengger dikaki ini! astaghfirullah.. berkah ngga sih langkah kaki ini? melangkah ke tempat baik saja belum tentu, apalagi cuma kemana yang mungkin banyakkan mudhorotnya..
Nah kalau sendal kita yang dipake? Lantas apa ini jadi pembenaran bagi kita untuk pake sendal orang yang lain juga? Tentu tidak! Coba bayangin, kalo sendal kita dipake orang lain terus pas kita mau keluar, karena gak ada sendal kita, jadi kita pake sendal orang lain juga, terus orang yang punya sendal yang kita pake mau keluar, karena sendalnya ngga ada jadi dia memutuskan untuk pake sendal orang yang lainnya lagi, terus orang yang lainnya lagi ini mau keluar juga dan karena sendalnya ngga ada jadi dia pake sendal orang yang lain lainnya-sengaja dua kali menunjukkan betapa lainnya dia- lagi. Ada rantai ‘peminjaman’ yang tidak jelas disana dan hal semacam ini mungkin saja terjadi. Itu kita baru ada di konsumen tingkat trofik II- iya bukan ya? Cmiiw-lah- apalagi kalo kita ada di tingkat trofik satu, istilah kerennya tuh, biang keroknya. Tapi tak peduli tingkat trofik satu atau dua atau seterusnya, sama aja, sama-sama manjangin tali kelambu, yang mengusutnya perlu banyak waktu. Mungkin hanya kaki yang rela melangkah bertelanjang tanpa alas kaki yang mampu mengehentikannya.. lalu bagaimana nasib perela ini? kalo dia ngga ikhlas.. kira-kira dosanya berantai juga ngga ya kayak rantai ‘peminjamannya’? wallahu ‘alam..
Mendapati sendal kita ketinggalan dikamar sedangkan kita sudah ada didepan dan tinggal keluar itu memang bikin kesel. Apalagi kalo kita sudah didepan dan tinggal keluar terus mendapati sendal kita ‘dipinjem’ entah kemana itu keselnya jadi kesel kuadrat.. apalagi, kebanyakan yang ‘minjem’ itu sebenernya ngga tau itu kepunyaan siapa, dan sayangnya dia memilih ngga peduli itu punya siapa.. bahkan ketika kita tau itu sendal punya siapapun, kita tetep harus ngomong supaya bisa disebut minjem. Kalo nggak ngomong? Peminjaman itu cuma berlaku disatu pihak, cuma kita yang nganggep itu minjem, pihak sana? Siapa yang tau? Mungkin.. mungkin dia anggep itu ‘minjem’ atau bisa jadi dia anggep itu ilang. Nah kalo dia anggep itu sendalnya dia ilang? Terus kita pihak peminjam gelap ini disebut apa? Bukan maling kan ya? Atau iya? Serem ah..
Makanya sobat semuanya.. ayolah, apa susahnya sih balik lagi buat ambil sendal kalo tu sendal memang ketinggalan di kamar sekalipun kamar kita ada dilantai 12. Kalo emang males, pinjem boleh asal pastikan kita tau persis sendal siapa yang akan kita pinjem dan jangan lupa ngomong ke yang punya, sms ke yang punya. Lupa bawa handphone? Pinjem ke temen terdekat yang punya nomornya. Kamu yang ngga punya nomornya? Katanya kenal orangnya?. Kalo sendal kita yang dipake peminjam gelap, yaa.. masak cuma itu satu-satunya alas kaki kamu? Atau bisa pinjem dulu dengan syarat-syarat peminjeman yang jelas tadi. Bentar doang kok... aduh sob, seburu-burunya kamu, sesingkat-singkatnya kamu mau keluar pake tu sendal, kamu ngga tau apa yang akan dan bisa terjadi dalam singkatnya waktu ketika kamu pake sendal itu. Se-urgent-urgentnya urusan kamu, kamu ngga tau apakah urusan kamu itu lebih urgent daripada yang punya sendal.
Kalo kamu penah jadi salah satu korban, kamu tentunya ngerti banget gimana rasanya dan gregetnya kamu ke si peminjam gelap. Tapi kalo kamu belum pernah jadi korban.. apa jangan-jangan kamu tersangkanya? Upsss.. kidding! J